Study Kasus Tentang Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat
Study Kasus
Tentang Perkembangan Sosial Budaya Masyarakat
Tema :
Konflik Sosial Dalam Masyarakat Akibat Perbedaan Budaya
Di
era modern ini perkembangan teknologi semakin pesat, pengaruh-pengaruh dari
prkembangan IPTEK juga dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Penemuan-penemuan
baru ditemukan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Rotasi bumi terasa berputar
semakin cepat, kita dituntut kritis untuk menghadapi kerasnya zaman. Istilah
globalisasi sudah tidak asing ditelinga, kerjasama lintas wilayah tiada batas.
Interaksi sosial menjadi kunci memuluskan tujuan masing-masing, baik melalui
media seperti telepon, internet, komputer atau berkomunikasi secara langsung. Tidak terasa, masuk berbagai
macam budaya baru. Cara berpakaian, cara bicara dan tingkah laku. Budaya daerah
perlahan tergerus dan digantikan dengan gaya hidup yang baru.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar
bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab
lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di Indonesia, antara Suku
Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku
Batak yang beragama Kristen, kedua suku itu hampir selalu hidup dalam
ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan
ketentraman dan keamanan.
Budaya adalah suatu alat yang
berguna untuk memahami perilaku manusia di seluruh bumi, juga di negeri kita
sendiri. Pandangan mengenai konsep ini terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku
manusia (behavoiral science) sosiologi, psikologi dan antropologi. Ilmu sosial
tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita bagaimana orang-orang
berperilaku, mengapa mereka berperilaku demikian dan apa hubungan antar perilaku
manusia dan lingkungan.
Pada dasarnya manusia menciptakan
budaya atau lingkungan sosial mereka sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan
fisik dan biologis mereka. Kebiasaan, praktik dan tradisi untuk terus hidup dan
berkembang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu
masyarakat tertentu. Budaya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap fase aktivitas
manusia. Individu sangat cenderung menerima dan mempercayai apa yang dikatakan
oleh budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat
dimana kita tinggal, terlepas dari bagaimana validitas objektif masukan dan penanaman
budaya ini pada diri kita.
Agama adalah suatu sistem yang
mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta manusia
dengan lingkunagnnya.
Kata “Agama”berasal dari bahasa sansekerta, agama yang berarti “tradisi” Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini religi berasal dari bahasa latin yaitu religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relative mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu. Pada bagian lain Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa masyarakat dapat di bedakan menjadi masyarakat natural dan masyarakat kultural. Masyarakat natural adalah masyarakat yang di tandai oleh adanya persamaan tempat tinggal. Misalnya masyarakat Sunda, masyarakat Jawa, masyarakat Batak, dan sebagainya. Sedangkan Masyarakat kultural adalah mmasyarakat yang keberadaanya tidak terikat oleh persamaan tempat tinggal, melainkan hasil dinamika kebudayaan peradaban manusia. Misalnya masyarakat pelajar, masayrakat petani, dan sebagainya.
Kata “Agama”berasal dari bahasa sansekerta, agama yang berarti “tradisi” Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini religi berasal dari bahasa latin yaitu religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang secara relative mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatan dalam kelompok itu. Pada bagian lain Horton mengemukakan bahwa masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa masyarakat dapat di bedakan menjadi masyarakat natural dan masyarakat kultural. Masyarakat natural adalah masyarakat yang di tandai oleh adanya persamaan tempat tinggal. Misalnya masyarakat Sunda, masyarakat Jawa, masyarakat Batak, dan sebagainya. Sedangkan Masyarakat kultural adalah mmasyarakat yang keberadaanya tidak terikat oleh persamaan tempat tinggal, melainkan hasil dinamika kebudayaan peradaban manusia. Misalnya masyarakat pelajar, masayrakat petani, dan sebagainya.
Penyebab Konflik Agama di
Masyarakat
a.
Perbedaan
doktrin dan sikap mental
Semua
pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing
menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari
benturan itu.
Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi Karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
b.
Perbedaan
Suku Dan Ras Pemeluk Agama
Tidak
dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan
antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi
penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam
masyarakat.
Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
c.
Perbedaan
Tingkat Kebudayaan
Agama
sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan
budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan
dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya
modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam – Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional, sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam – Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional, sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
d.
Masalah
Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Fenomena
konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama
pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan
agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadah.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadah.
Contoh
Konflik Agama
Berita yang muncul diawali dengan
kasus penyegelan rumah milik jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di
Ciketing Bekasi, Jawa Barat yang disalahgunakan menjadi gereja HKBP Pondok
Timur Indah, akhirnya berbuntut panjang. Jemaat HKBP tidak terima dengan
keputusan pemerintah dan melakukan berbagai aksi demonstratif, yang akhirnya
berujung pada insiden bentrokan jemaat HKBP dengan warga Muslim Bekasi.
Sebagian kalangan kemudian mengangkat dan membesar-besarkan kasus ini sampai ke
dunia internasional, sehingga memberikan citra negatif terhadap Indonesia.
Citra buruk yang tampaknya ingin
dibentuk adalah bahwa seolah-olah negeri Muslim terbesar di dunia ini merupakan
satu bangsa yang tidak beradab yang tidak menghargai kebebasan beragama,
seolah-olah, kaum Kristen di Indonesia merupakan kaum yang tertindas. Sejumlah
aktivis Kristen di Indonesia tergolong rajin memanfaatkan momentum kasus-kasus
konflik soal pendirian gereja, menjadi komoditi yang berharga untuk membentuk
citra buruk bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim.
Ujung-ujungnya, muncul tekanan dari berbagai Negara atau kelompok di luar negeri, agar Indonesia memberikan ruang kebebasan beragama yang lebih besar kepada golongan minoritas Kristen. Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut mereka, dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008, ada 40 buah gereja yang mendapat gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu atau dibakar di Bekasi, Depok, Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang , Jakarta , Temanggung dan Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).
Ujung-ujungnya, muncul tekanan dari berbagai Negara atau kelompok di luar negeri, agar Indonesia memberikan ruang kebebasan beragama yang lebih besar kepada golongan minoritas Kristen. Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut mereka, dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu atau dipaksa untuk ditutup. Tahun 2008, ada 40 buah gereja yang mendapat gangguan. Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu atau dibakar di Bekasi, Depok, Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang , Jakarta , Temanggung dan Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera Utara).
Menurut data FKKJ tersebut, selama
masa pemerintahan Presiden Sukarno (1945 – 1966) hanya ada 2 buah gereja yang
dibakar. Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1966 – 1998) ada 456 gereja
yang dirusak atau dibakar. Pada periode 1965-1974, kata FKKJ, “hanya” 46 buah
gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun 1975 atau masa setelah
diberlakukannya SKB 2 Menteri tahun 1969 hingga saat lengsernya Suharto tahun
1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar sebanyak 410 buah.
Mungkin banyak pihak yang tercengang melihat besarnya angka perusakan gereja di Indonesia. Sangat fantastis. Sayangnya, pihak FKKJ tidak menyajikan analisis yang komprehensif tentang data tersebut. Benarkah yang dirusak itu memang gereja? Mengapa hal itu terjadi? Umat Islam bisa saja membuat data, berapa ribu masjid dan mushola yang dirusak dan digusur oleh developer Kristen! Juga, mestinya ada analisis, mengapa sudah begitu banyak gereja yang dirusak, tetapi pertumbuhan gereja di Indonesia juga sangat fantastis.
Mungkin banyak pihak yang tercengang melihat besarnya angka perusakan gereja di Indonesia. Sangat fantastis. Sayangnya, pihak FKKJ tidak menyajikan analisis yang komprehensif tentang data tersebut. Benarkah yang dirusak itu memang gereja? Mengapa hal itu terjadi? Umat Islam bisa saja membuat data, berapa ribu masjid dan mushola yang dirusak dan digusur oleh developer Kristen! Juga, mestinya ada analisis, mengapa sudah begitu banyak gereja yang dirusak, tetapi pertumbuhan gereja di Indonesia juga sangat fantastis.
Dari masalah yang timbul diatas maka
berbagai pendapatpun muncul kepermukaan. Seperti salah satu pendapat yang
menyatakan bahwa akar masalah ada pada jemaat HKBP yang tidak tunduk pada Surat
Keputusan Bersama (SKB, atau kadang disebut Surat Peraturan Bersama, SPB No 8
dan 9/2006) tentang pendirian rumah ibadah. Sebagian lain justru menyalahkan
SKB yang nyata-nyata telah menghalang-halangi orang untuk membangun rumah
ibadah.
Sebenarnya di Bekasi masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam, dalam kasus ini seakan umat Islamlah yang melarang pendirian tempat ibadah tersebut. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana konflik itu tergantung kemunculannya ”Kepemimpinan Kerismatik”, dimana dia dapat memobilisasi subordinate. Bahwa konflik revolusioner tidak selalu didalam system yang tidak adil. Didalam kasus pendirian tempat ibadah di Bekasi ini yang berperan sebagai superordinat adalah umat Islam, dimana umat Islam sebagai subordinat ingin mempertahankan kewenangan dan kekuasaanya sebagai penganut agama yang mayoritas. Sedangkan umat Kristen dalam masalah ini adalah sebagai subordinat, yakni lapisan yang ingin mengadakan perubahan karena sebagai pihak yang tunduk pada superordinat.
Sebenarnya di Bekasi masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam, dalam kasus ini seakan umat Islamlah yang melarang pendirian tempat ibadah tersebut. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh Max Weber, dimana konflik itu tergantung kemunculannya ”Kepemimpinan Kerismatik”, dimana dia dapat memobilisasi subordinate. Bahwa konflik revolusioner tidak selalu didalam system yang tidak adil. Didalam kasus pendirian tempat ibadah di Bekasi ini yang berperan sebagai superordinat adalah umat Islam, dimana umat Islam sebagai subordinat ingin mempertahankan kewenangan dan kekuasaanya sebagai penganut agama yang mayoritas. Sedangkan umat Kristen dalam masalah ini adalah sebagai subordinat, yakni lapisan yang ingin mengadakan perubahan karena sebagai pihak yang tunduk pada superordinat.
Lewis A Cusser juga menghasilkan
teori konflik yang didalam teorinya Cusser mengatakan bahwa konflik yang
terjadi dimasyarakat berawal dari anggota subordinat dan sistem yang tidak adil
mempertanyakan keabsahan keberadaan distribusi sumber-sumber langka. Subordinat
yang menanyakan keabsahan sumber langka memfokuskan pada pertentangan dan
perjuangan untuk mendapatkan sumber langka tersebut. akibat perjuangan dari
subordinat, pertentangan tidak dapat terelakkan lagi sehingga konflik muncul kepermukaan.
Konflik pendirian ibadah ini analisis dengan teori Cusser maka Umat Kristen
yang disini sebagai subordinat ingin memperjuangkan sumber langka yaitu
pendirian tempat ibadah bagi mereka yang selama ini tidak ada, tetapi karena
mereka tidak memiliki lahan untuk mendirikan tempat ibadah yang telah diatur
oleh pemerintah maka umat Kristen tidak bisa melakukannya, sehingga terjadi
konflik antara umat Kristen dan Islam. Dimana umat Islam lebih leluasa
mendirikan tempat ibadah karena mereka adalah umat beragama yang mayoritas
menempati wilayah tersebut.
Konflik adalah keniscayaan yang tidak
dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat itupun dapat mempunyai fungsi.
Apabila konflik terjadi, teori fungsionalisme struktural memusatkan
perhatiannya pada bagaimana cara untuk menyelesaikan konflik tersebut sehingga
masyarakat tetap dalam keseimbangan. Pendukung teori fungsionalisme berpendapat
bahwa masyarakat dianalogikan sebagai organisme biologis. Masyrakat seperti
organisme dinyatakan sebagai sistem-sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
terspesialisasi dan saling tergantung.
Teori fungsionalisme melihat agama
sebagai penyebab sosial yang dominan dalam bentuknya lapisan sosial, perasaan
agama, dan termasuk konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang
menjawab kebutuhan mendasar yang dapat dipenuhi kebutuhan nilai-nilai duniawi.
Tetapi tidak mengutip hakikat apa yang ada di luar atau referensi trasendental
(istilah Talcott Parsons). Maka dari pernyataan diatas bisa disimpulkan manusia
akan menjadi lebih mempermasalahkan sesuatu jika sudah menyangkut masalah
agama. Apalagi jika menyinggung agama lain, sehingga panganut agama yang
tersinggung akan merasa marah sehingga menjadikan konflik.
Jika ditelaah lebih lanjut maka konflik antar agama di Indonesia secara khusus akan mengancam equilibrium masyarakat yang sensitif bagi masyrakat Indonesia. Olek karena itu perlu dipahami apa penyebab atau latar belakang konflik antar agama di Indonesia itu terjadi. Tentu saja konflik mempunyai latar belakang sejarah, sosial, ekonomi, budaya dan politik sendiri-sendiri. Hal itu merupakan akibat faktor stuktural dan kegagalan para politisi dan lainnya dalam mengambil tindakan. Seringkali latar belakang profokasi yang terencana oleh pihak-pihak dengan kepentingan tersembunyi dalam mengarahkan kekacauan. Dengan demikian jika seseorang ingin menyelesaikan konflik, masing-masingnya harus dilakukan sendiri-sendiri.
Jika ditelaah lebih lanjut maka konflik antar agama di Indonesia secara khusus akan mengancam equilibrium masyarakat yang sensitif bagi masyrakat Indonesia. Olek karena itu perlu dipahami apa penyebab atau latar belakang konflik antar agama di Indonesia itu terjadi. Tentu saja konflik mempunyai latar belakang sejarah, sosial, ekonomi, budaya dan politik sendiri-sendiri. Hal itu merupakan akibat faktor stuktural dan kegagalan para politisi dan lainnya dalam mengambil tindakan. Seringkali latar belakang profokasi yang terencana oleh pihak-pihak dengan kepentingan tersembunyi dalam mengarahkan kekacauan. Dengan demikian jika seseorang ingin menyelesaikan konflik, masing-masingnya harus dilakukan sendiri-sendiri.
Akan tetapi ada latar belakang umum
terhadap konflik ini, yaitu perlu dipahami sifat konflik tersebut yang
sesungguhnya. Pertama kali adalah berusaha untuk menempatkan konflik-konflik
ini kedalam perspektif. Untuk melakukan hal itu seseorang orang harus
melihatnya dari konteks iklim umum tindak kekerasan konflik. Iklim adalah terbukti
untuk seluruh konflik. Sudah terjadi benturan antara suku yang berbeda tidak
peduli agama. Setiap kesalah pahaman kecil ditempat keramaian maka akan terjadi
pertumpahan darah. Karena masyarakat Indonesia sedang dalam cengkraman budaya
kekerasan dimana konflik yang biasa terjadi sehari-hari tidak lagi dikelola
dengan cara konstruktif, namun sebaliknya segera menjadi kekerasan dan bisa
melibatkan komunitas. Hal itu terjadi tanpa ada tanda-tanda bahwa pihak yang
tertarik dapat dengan mudah mengambil keuntungan dari situasi ini.
Bahaya nya adalah bahwa begitu agama
terlibat seperti konflik Ambon-Maluku, mekanisme pembentukan solidaritas dapat
berubah menjadi gerakan dengan dampak secara nasional. Ada fenomena yang
mengganggu, bahwa meskipun mempunyai latar belakang dan kondisi lokal yang
khusus dan berbeda, konflik-konflik ini cenderung semakin lama semakin lebih
sederhana, yaitu menjadi konflik antara Islam dan Kristen. Dan permasalahan
seperti ini dapat menyebar keseluruh pelosok negeri dengan potensi menjadi
bencana besar.
Apa yang harus menjadi tujuan
pendidikan yang menggambarkan perdamaian antar agama, ialah yang cenderung
membangun sikap yang membuat anggota komunitas agama yang berbeda mampu
berkomunikasi dengan cara yang normal, damai satu sama lain dan mengelola
konflik mereka tidak dengan cara kekerasan.
Untuk konteks seperti Indonesia, yang paling baik bagi para pemeluk agama sedapat mungkin saling bersilaturahmi termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka sehingga hal-hal negatif dan saling curiga akibat tidak saling mengerti bisa kita hapuskan. Menghabiskan energi untuk saling berkonflik dan saling curiga itu untuk apa? Tak ada yang untung sama sekali. Malah menguras energi dan membuat citra kita di dalam maupun di luar negeri menjadi buruk. Kalau kita bisa saling bersilaturahmi di tingkat akar-rumput dengan baik, itu akan menjadi kekuatan besar; menjadi modal sosial bersama-sama termasuk untuk memperbaiki kualitas bangsa ini.
Kemajemukan agama seharusnya juga tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.
Untuk konteks seperti Indonesia, yang paling baik bagi para pemeluk agama sedapat mungkin saling bersilaturahmi termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka sehingga hal-hal negatif dan saling curiga akibat tidak saling mengerti bisa kita hapuskan. Menghabiskan energi untuk saling berkonflik dan saling curiga itu untuk apa? Tak ada yang untung sama sekali. Malah menguras energi dan membuat citra kita di dalam maupun di luar negeri menjadi buruk. Kalau kita bisa saling bersilaturahmi di tingkat akar-rumput dengan baik, itu akan menjadi kekuatan besar; menjadi modal sosial bersama-sama termasuk untuk memperbaiki kualitas bangsa ini.
Kemajemukan agama seharusnya juga tidak menjadi penghalang untuk hidup bersama, berdampingan secara damai dan aman. Bahkan, kemajemukan agama tidak menghalangi umat beragama untuk membangun suatu negara yang bisa mengayomi dan menghargai keberadaan agama-agama tersebut. Adanya saling pengertian dan pemahaman yang dalam akan keberadaan masing-masing menjadi modal dasar yang sangat menentukan. Pengalaman-pengalaman Nabi di atas mengandung dimensi moral dan etis. Di antara dimensi moral dan etis agama-agama adalah saling menghormati dan menghargai agama/pemeluk agama lain. Jika masing-masing pemeluk agama memegang moralitas dan etikanya masing-masing, maka kerukunan, perdamaian dan persaudaran bisa terwujud.
Kesimpulan
Indonesia merupakan Negara
kemajemukan, mulai dari bahasa, pakaian, adat, dan termasuk agama di dalamnya.
Berbeda-beda bukan alasan bahwa hidup kita tidak bisa damai dan tentram. Justru
dengan segala perbedaan ini, kita harus memunculkan rasa saling menghormati dan
saling menghargai atas perbedaan-perbedaaan yang ada. Dan diharapkan bahwa kita
harus saling menolong dan saling membantu apabila ada yang sedang membutuhkan
pertolongan kita. Dengan begitu tidak akan terjadinya bentrok atau perselisihan
yang di akibatkan perbedaan kepercayaan yang dianut. Warna pelangi tidak akan
indah, jika hanya memiliki satu warna. Tetapi, pelangi akan indah jika
mempunyai beberapa warna. Untuk itu, kita harus saling menghormati dan saling
menghargai satu sama lain meskipun banyak perbedaan, agar hidup kita lebih
berwarna dan lebih indah. Karena semua masalah pasti ada solusinya dan bisa di
bicarakan secara musyawarah, jangan sampai orang yang tidak bersalah menjadi
korban dari konflik tersebut.
Comments
Post a Comment